Minggu, 24 Februari 2013

Dilabrak karena ramalan perceraian

Saya bukan jenis orang yang menyetujui suatu bentuk perselingkuhan namun saya adalah orang yang realistis dan praktis dalam menjalani kehidupan. Hubungan cinta kasih yang penuh dengan masalah-masalah rumit, seringkali harus diselesaikan dengan cara-cara yang ekstrim.


Saya pernah dilabrak karena ramalan perceraian oleh salah satu istri klien yang merasa tidak terima. Peristiwa ini terjadi di rentang tahun 2011 yang lalu. Ketika itu saya bertemu dengan 2 orang wanita untuk berkonsultasi di sebuah mall di daerah Jakarta, sebut saja kedua wanita itu si A dan si B. Setelah kami berkenalan dan berbincang-bincang, ternyata si A ini adalah istri dari salah seorang klien saya yang bernama si C yang telah lama menghilang tanpa kabar. Ternyata kedatangan si A ini bertujuan untuk melakukan konfirmasi dan bantahan sekaligus dia ingin tahu lebih banyak perihal diri saya. Kemudian terjadilah perbincangan yang lebih tepatnya adu argumentasi secara terselubung berkaitan dengan ramalan perceraian yang pernah saya sampaikan kepada si C di sekitar tahun 2008. Perbincangan diantara saya dengan si A ini disaksikan oleh temannya di sebuah cafe pada malam itu.

Latar belakang dari permasalahan ini bermula ketika klien saya si C berkonsultasi ramalan tarot dengan saya di sekitar tahun 2008. Dia mengalami banyak pertikaian dan masalah cinta kasih rumit lainnya sehingga dia memerlukan suatu masukan dan pandangan. Sebelum mereka menikah pun, keluarga besar sempat menentang pernikahan yang hendak mereka laksanakan. Ketika saya menerawang, meramal tarot dan kemudian memperhitungkan tanggal lahir dari si C beserta istrinya (si A), saya melihat bahwasanya nantinya di rentang bulan Juli 2010 mereka akan mengalami suatu perceraian. Ada beberapa kali sesi konsultasi antara saya dengan si C terkait dengan kemelut rumah tangganya hingga kemudian si C menghilang tanpa kabar dan baru kemudian saya mendapatkan kabar terbaru dari istrinya yang datang berkonsultasi dengan saya di malam itu.

Si A (istri si C) menceritakan bahwasanya memang dia dan suaminya sempat bercerai pada bulan Juli 2010 persis seperti yang telah saya ramalkan dua tahun sebelumnya namun kemudian pada bulan November 2010 mereka kembali rujuk. Dengan adanya proses rujuk tersebut Si A ini rupa-rupanya ingin membuktikan bahwa ramalan saya salah. Ada beberapa perbincangan yang cukup menarik terjadi antara saya dengan si A dan disaksikan langsung oleh si B (teman si A yang pada malam itu turut mendampingi si A).

Saya (Priyashiva Akasa) : " Apabila suami istri sudah tidak ada kecocokan, menurut pandangan saya akan lebih baik keduanya ikhlas bercerai agar tidak saling menyakiti dan menyiksa diri. Apalagi bila berbagai upaya perbaikan sudah dilakukan namun semuanya tetap tidak berubah dan terus menerus terjadi keributan. Dengan ikhlas melepaskan pasangan maka akan memberi kesempatan masing-masing kedua belah pihak bisa menemukan orang lain yang lebih sesuai sehingga masing-masing bisa berbahagia dengan pasangan barunya."

Si A (istri si C) menjawab: " Meskipun pernikahan itu slalu ribut dan banyak masalah namun si istri bisa tetap bahagia hidup dengan suaminya, kenapa tidak? Biarkan saja suami istri itu tetap bersatu dalam pernikahan!!!"

Saya (Priyashiva Akasa) : " Jika begitu, yang bahagia kan... hanya pihak istrinya saja. Bagaimana dengan si suami? Apakah suami bisa bahagia dengan suatu pernikahan yang selalu ribut dan banyak masalah? Kehidupan rumah tangga itu untuk bisa harmonis dan bahagia harus ada keseimbangan dalam memberi dan menerima. Jika salah satu bahagia maka yang lain juga harus bahagia. Kebahagiaan tidak bisa hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja."

Bukanlah sebab mentang-mentang saya seorang laki-laki maka kemudian dengan serta merta saya membela si C selaku suami hanya karena kami sama-sama lelaki. Dalam hal ini tidak ada masalah gender atau hal-hal yang berkaitan dengan masalah feminisme. Segala pandangan saya yang terkait dengan ramalan perceraian ini benar-benar obyektif.  Perspektif yang saya utarakan pun murni dari hasil terawangan, analisa kejiwaan dan penilaian sifat serta sikap dari semua pihak yang terlibat. Saya sampaikan pendapat kepada si A secara logis, sistematis dan menekan nilai-nilai intektual tanpa emosi sedikit pun.

Setelah mendengar penjelasan dari saya yang demikian itu, si A kemudian pamit pergi ke toilet. Lalu saya katakan kepada temannya si A ini yakni si B, " Tuh kan... Benar kata saya. Dia itu tidak pernah merasa salah dan slalu memposisikan diri sebagai orang yang paling benar. Tidak heran jika suaminya slalu merasa tertekan hidup bersama wanita semacam dia." Si B ini pun mengiyakan kata-kata saya bahkan si B berpendapat bahwasanya selama si A dan si C menikah, si A memang terlalu dominan dalam menjalani kehidupan rumah tangga sehingga si C sebagai seorang suami merasa mandul dalam berperan sebagai kepala rumah tangga. Orang tua si C ini bahkan merasa tidak nyaman setiap kali tinggal bersama mereka.

Si A ini sempat melontarkan suatu penilaian bahwa ternyata suaminya selama ini bisa berani mengambil keputusan bercerai karena suaminya terhasut oleh ramalan perceraian. Dia menuduh bahwa sayalah dibalik semua tindak tanduk suami yang menyimpang. Dia juga berujar bahwa suami itu memang tipe pria yang mudah terpengaruh omongan orang lain. Saya tidak menjawab dan saya juga tidak berkomentar dengan tuduhan yang dia lontarkan tersebut. Saya tidak ingin berdebat panjang lebar dengan seorang wanita setengah gila yang egois karena nantinya hanya akan mempermalukan harga diri saya di depan banyak orang.

Si A ini juga sempat melontarkan suatu pertanyaan yang bersifat provokatif. Dia menanyakan pendapat saya bagaimana jika dia pun melakukan perselingkuhan dengan salah satu teman pria di kantornya sebagaimana suaminya juga melakukan perselingkuhan dengan cara yang sama. Saya jawab, " Kenapa tidak? Silakan saja dilakukan sepanjang kalian berdua bahagia dalam menjalin cinta kasih sehingga dengan demikian mbak A ini bisa lebih cepat ikhlas melepaskan suami untuk bercerai karena mbak sudah menemukan pasangan yang lebih baik daripada suami." Saya bukan jenis orang yang menyetujui suatu bentuk perselingkuhan namun saya adalah orang yang realistis dan praktis dalam menjalani kehidupan. Hubungan cinta kasih yang penuh dengan masalah-masalah rumit, seringkali harus diselesaikan dengan cara-cara yang ekstrim.

Bagi saya, peristiwa di atas bagaikan suatu pertunjukan ketoprak humor. Coba anda pikirkan ! Bagaimana mungkin seorang pria yang sudah berusia lebih dari 40 tahun bisa terpengaruh masukan dari saya untuk melakukan perceraian padahal saya dan suaminya hanya bertemu kurang lebih 4 kali pertemuan saja? Lagipula jauh sebelum suaminya si A ini datang berkonsultasi dengan saya, mereka berdua sudah mengalami konflik bertahun-tahun lamanya bahkan semenjak awal mereka hendak menikah sudah sering terjadi keributan tak berujung. Apa yang saya terawang dan saya ramalan semua itu adalah semata-mata cerminan akan kehidupan suami istri itu sendiri yang memang kacau balau. Bahkan jika diperhitungan secara spiritual, mereka berdua itu memang tidak diperbolehkan menjadi pasangan suami istri karena hanya akan berbuah tragedi. Masukan dari saya semata-mata bersifat sebagai gambaran dan panduan dalam bersikap dimana keputusan akhir sepenuhnya tetap berada di tangan si C sendiri. Saya yakin si C itu sebelum berkonsultasi, sebagai suami yang sedang galau dia sudah memiliki keputusan dan pendapat sendiri. Dia datang kepada saya hanyalah untuk mencari dukungan penguat hati dan keyakinan akan langkah yang ingin dia tempuh. Sedangkan si A sebagai istri termasuk wanita yang egois dan mau menang sendiri, ini terbukti dengan sikap dia yang hanya bisa menyalahkan saya dan ramalan tanpa mau melakukan intropeksi diri.

Kemudian saya sampaikan kepada si B selaku temannya si A bahwa meskipun si A dan si C bisa rujuk di bulan November 2010 namun kelak di rentang bulan November 2014 nanti mereka akan kembali bercerai. Mereka berdua hanya mengulang siklus lingkaran setan yang sama. Selama si A sebagai istri tidak merubah sikap-sikapnya yang negatif (egois, merasa diri benar, slalu menyalahkan orang lain dan keadaan, dominan, pendendam, harga diri tinggi dan bermulut pedas) maka proses kehidupan rumah tangga mereka akan tetap sama, berputar-putar dalam roda nasib cinta kasih penuh kesialan dan perselingkuhan.

Beberapa pekan kemudian ketika saya bertemu dengan suami si A ini, saya tegur dia berkaitan dengan pertemuan yang telah terjadi antara saya dengan istrinya. Saya sampaikan rasa ketidaksukaan saya terhadap si C ini. Tidak seharusnya bagi si C ini menyampaikan masukan dan pendapat saya kepada istrinya karena sama saja dia mengadu domba saya dengan istrinya. Isi konsultasi dan pembicaraan antara saya dengan dia sudah seharusnya bersifat sangat rahasia. Istrinya bisa bercerita secara terperinci isi semua ramalan saya menandakan bahwa si suami ini mengungkapkan semua kepadanya. Dia selaku suami tidak sepantasnya menggunakan ramalan dan masukan saya sebagai alat untuk menekan istrinya agar dia bisa bercerai karena perbuatan tersebut adalah tindakan pengecut. Mengingat mereka berdua telah berusia kepala 4 maka sudah selayaknya jika mereka berdua mampu menyelesaikan masalah internal rumah tangganya secara mandiri dan secara lebih dewasa tanpa melibatkan orang asing apalagi sampai menyalahkan orang lain yang berniat membantu mereka.

------------------------------------
Untuk berkonsultasi dengan Priyashiva Akasa Dwijendra/Priyashiva Akash, anda bisa menghubungi 
Telp/WA: +62 856 70 345 22 (Syarat & Ketentuan Berlaku)  

Priyashiva Akasa Dwijendra
-------------------------------
YouTube Channel :
Acara TV Priyashiva Akasa Dwijendra

----------------------------------