Senin, 10 Mei 2010

Mengintip Kode Kehidupan Artikel Koran Kompas 27 Desember 2009

Berikut ini kutipan artikel Koran Kompas edisi tanggal 27 Desember 2009 dimana PriyaShiva Akasa menajadi salah satu narasumber peliputan tentang bisnis & dunia ramal meramal Tarot.

"Mengintip" Kode Kehidupan

Minggu, 27 Desember 2009
-------------------

Peramal tarot, Priya Shiva Akasa, mengaku bukan sekadar meramal, tetapi lebih mengedepankan layanan konsultasi.
Menurut dia, peramal hanya sebagai pengarah dengan membantu melihat kode kehidupan seseorang lewat tarot. ”Kami hanya membantu menyelesaikan masalah, mengarahkan klien dalam menyikapi hidup,” kata Priya.
Kelenteng juga menjadi tempat mendapatkan pedoman hidup. Seperti yang dilakukan Tony Librado (57), Sabtu petang di Kelenteng Hian Thian Siang Tee, Palmerah, Jakarta. Sore itu, ia mencari pengumuman Vihara Dharma Jaya Toasebio, yang menurut dia, merupakan pedoman hidup tahun depan. Setelah mendapatkan kertas, dia langsung lega.
”Saya bersyukur, tapi tetap waspada juga. Nasib saya bisa saja jelek kalau saya tidak hati-hati,” kata ayah dua anak itu.
Selain di Jakarta, fenomena ramal-meramal juga terjadi di daerah seperti Solo, Salatiga, dan Semarang.
Ketidakpastian situasi
Teolog Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Izak Lattu, menilai, maraknya upaya untuk meramal tidak terlepas dari situasi psikologi akibat ketidakmenentuan situasi ekonomi, politik, dan sosial.
Maka, saat memasuki tahun baru yang penuh dengan ketidakpastian, meramal menjadi jalan pintas bagi mereka untuk mendapatkan ”pegangan”.
Namun, tambahnya, hal itu menjadi sangat bersifat material dan hanya akan berbicara tentang ”saat ini” dan ”di sini”. ”Di sini peranan agamawan sangat penting. Memberikan keyakinan kepada masyarakat agar mereka jadi memiliki harapan di tengah ketidakpastian,” tuturnya.
Sosiolog Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Hermawan Pancasiwi, juga menilai, fenomena ramal-meramal menjelang tahun baru menunjukkan perilaku masyarakat yang mulai kehilangan norma atau dalam istilah sosiologi dikenal dengan anomi.
”Mereka memanfaatkan dunia metafisika untuk mengetahui masa depan karena tidak mampu memprediksi masa depan secara rasional,” katanya.
Menurut Hermawan, anomi muncul karena perubahan yang cepat di masyarakat. Mereka meninggalkan pola kehidupan yang lama, tetapi belum menemukan yang baru.
Dalam kondisi seperti ini, masyarakat menjadi labil dan diperparah dengan munculnya bencana alam serta tayangan-tayangan film yang menceritakan kehancuran masa depan. ”Meski tidak logis, film-film seperti ini menimbulkan histeria massa,” ujarnya.
Akibatnya, masyarakat mendatangi peramal untuk mendapatkan harapan pada masa depan. Padahal, harapan tersebut merupakan harapan semu yang tidak didasarkan pada perhitungan rasional.
Semua peramal, lanjutnya, tidak akan mengatakan ramalan yang jelek karena mereka mendapatkan uang atas jasanya. Hal tersebut akan menjadi fatal apabila orang yang diramal berhenti dan hanya menunggu hasil ramalan.
Hermawan mengatakan, pemerintah harus membantu masyarakat agar tidak larut dalam kondisi tersebut. Ramalan harus dihindari karena tidak mendewasakan masyarakat.
Misalnya, dengan menyeleksi buku-buku ramalan serta mengontrol tayangan yang menawarkan jasa ramalan di televisi.


 -----------------------------------
Untuk berkonsultasi dengan Priyashiva Akasa Dwijendra/Priyashiva Akash, anda bisa menghubungi 
Telp/WA: +62 856 70 345 22 (Syarat & Ketentuan Berlaku)  

Priyashiva Akasa Dwijendra
-------------------------------
YouTube Channel :
Acara TV Priyashiva Akasa Dwijendra

-----------------------------------------------------------------