Sabtu, 03 Agustus 2013

Jalan setapak spiritual






Spiritual dan religius bagaikan dua sisi dari sebuah keping mata uang, nampak berbeda namun berada dalam satu kesatuan. Spiritual lebih bersifat universal dan tanpa paksaan dimana sebagian besar orang salah mengerti menyamakan spiritual dengan hal-hal yang berbau mistik dan klenik. Sedangkan religius bersifat dogmatik, memerlukan kedisiplinan dan menganut belief system mutlak. Namun pada hakikatnya baik spiritual maupun religious sama-sama mengarah pada Tuhan yang sama.

Beberapa waktu yang lampau, pada suatu sesi konsultasi ramalan tarot saya bertemu dengan seorang klien yang meminta saran dan pandangan perihal arah serta pilihan manakah keyakinan yang sesuai dengan dirinya. Suatu pertanyaan yang sensitif dan juga rumit. Dia seorang anak muda berusia awal 20 an yang dilahirkan dari sebuah keluarga yang cukup religious sehingga secara otomatis agama yang dia anut pada saat ini adalah agama yang bersifat turun temurun. Namun sayangnya, dia merasa tidak nyaman dan tidak cocok dengan keyakinan agama turunan yang saat ini dia jalani. Dia menilai bahwasanya agama yang dia anut saat ini begitu banyak ajaran-ajaran yang bersifat kontradiktif, agresif dan menilai segala sesuatunya mutlak berwarna hitam putih. Dia memiliki begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab akan kebenaran agamanya. Dia pun sudah mencoba melakukan perbandingan dengan beberapa ajaran agama lain namun sayangnya, dia menilai semuanya hampir sama. Menurut pandangan saya sendiri, dia adalah sesosok anak muda yang cerdas namun masih labil maka tak heran apabila dia nampak begitu kritis dan sangat sensitif.

Sebagai seorang konsultan spiritual, saya tidak memiliki kapasitas dan juga bukanlah hal yang bijaksana bagi saya untuk menyatakan agama mana yang paling benar. Saya sarankan kepada dia agar tidak terburu nafsu menentukan pilihan jika dia memang belum siap benar. Saya sarankan agar dia memperluas wawasan pengetahuan ajaran spiritual maupun religious dengan cara memperbanyak membaca buku-buku karya Rumi, Ajahn Bhram, Anthony De Mello, Osho, Dalai Lama, Karen Armstrong, Thich Nath Hanh, Krisnamurthi dan semacamnya. Atau dia juga bisa membaca buku-buku filosofi agar dia lebih memahami arti kehidupan dan ketuhanan dari sudut pandang yang lebih kritis. Bisa juga dia membaca novel-novel bernuansa spiritual seperti karya James Redfield atau Paulo Coelho dan semacamnya. Wawasan yang luas akan memberikan pencerahan dan pemahaman yang mendalam agar dia kelak tidak terjebak pada suatu paham fanatisme buta. Saya yakin apabila hati dan pikirannya sudah siap maka suatu saat nanti jalan serta arah yang sesuai dengan panggilan jiwanya akan terlihat lebih jelas.

Fanatisme muncul akibat ego diri berlebihan, wawasan sempit tertutup dan juga keras kepala sehingga yang bersangkutan merasa diri paling benar sedangkan pihak lain yang berbeda pasti salah. Mereka yang fanatik merasa diri paling pintar padahal bagi saya merekalah justru yang paling bodoh, buktinya mereka dengan begitu mudah diprovokasi dan dicuci otak melalui paham-paham kaku tendensious yang menyebabkan logika mereka mati rasa. Paham fanatisme bisa menimpa siapa saja dan dari kalangan manapun baik ilmuwan, politikus, ahli agama bahkan atheis pun ada. Hanya dengan memperluas pandangan terang dan membuka diri terhadap berbagai pengetahuan maka seseorang akan bisa mendapatkan kebijaksanaan.

------------------------------------
Untuk berkonsultasi dengan Priyashiva Akasa Dwijendra/Priyashiva Akash, anda bisa menghubungi 
Telp/WA: +62 856 70 345 22 (Syarat & Ketentuan Berlaku)  

Priyashiva Akasa Dwijendra
-------------------------------
YouTube Channel :
Acara TV Priyashiva Akasa Dwijendra

----------------------------------